Iaintulungagung.ac.id – Jakarta, 6 Oktober 2025 – Pemerintah Swedia mengambil langkah berani dengan menerapkan pembelajaran tradisional mulai 2024. Kebijakan ini mewajibkan anak di bawah usia 6 tahun menggunakan buku cetak dan menulis tangan untuk tugas sekolah. Langkah ini memicu pro dan kontra di tengah era digitalisasi yang kian masif. Swedia, negara maju dalam teknologi, memilih mengurangi ketergantungan pada gadget untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, kebijakan ini bertujuan memperkuat kemampuan berpikir kritis dan daya nalar siswa sejak dini.
Para ahli dan politikus Swedia mendorong kebijakan ini setelah mengevaluasi dampak digitalisasi berlebihan dalam pendidikan. Oleh karena itu, Swedia mengalihkan fokus ke buku cetak dan keahlian guru. Selain itu, pendekatan ini menekankan pentingnya pengetahuan terstruktur untuk membangun fondasi pendidikan yang kokoh bagi generasi muda.
Kebijakan Pembelajaran Tradisional di Swedia
Pemerintah Swedia mengalokasikan 60 miliar Euro pada 2024 untuk menyediakan buku cetak di seluruh sekolah. Kebijakan ini mendorong anak usia dini menggunakan buku teks fisik dan menulis tangan. Para ahli dari Institut Koralinka Swedia menegaskan bahwa alat digital sering kali merugikan proses pembelajaran. Misalnya, sumber digital yang tidak terverifikasi dapat menyesatkan siswa dan melemahkan kemampuan berpikir kritis. Oleh sebab itu, Swedia menerapkan pembelajaran tradisional untuk memastikan siswa memperoleh pengetahuan yang akurat dan terstruktur.
Langkah ini tidak menolak teknologi secara keseluruhan. Sebaliknya, Swedia berupaya menciptakan keseimbangan antara teknologi dan metode tradisional. Dengan kata lain, buku cetak dan tulis tangan lebih efektif untuk membangun literasi dan kemampuan analitis pada anak usia dini. Selain itu, prestasi siswa Swedia dalam kemampuan membaca tetap berada di atas rata-rata global, memperkuat kepercayaan pada pendekatan ini.
Tren Global Penggunaan Buku Cetak
Swedia bukan satu-satunya negara yang mengutamakan buku cetak. Jepang, misalnya, telah lama mempertahankan kecintaan pada buku fisik. Masyarakat Jepang menilai bahwa membaca buku cetak karya ahli memberikan pengalaman belajar yang lebih mendalam. Dengan demikian, membaca secara tuntas meningkatkan ketajaman berpikir dibandingkan dengan konten digital yang sering tidak lengkap. Oleh karena itu, pendekatan ini membantu siswa mengasah kemampuan analitis dan kritis sejak dini.
Di Jepang, buku digital kurang populer karena dianggap kurang mendukung pembelajaran mendalam. Selain itu, perangkat digital sering menyebabkan distraksi yang mengurangi fokus siswa. Dengan kata lain, buku cetak menawarkan pengalaman belajar yang lebih terarah. Oleh sebab itu, pendekatan Swedia dan Jepang dapat menginspirasi negara lain untuk mengevaluasi penggunaan teknologi di kelas.
Tantangan Literasi di Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam literasi. Di Pangandaran, Jawa Barat, 29 siswa SMP dari kelas 7 hingga 9 tidak mampu membaca. Fenomena ini memerlukan penelitian mendalam untuk mengidentifikasi penyebabnya. Misalnya, apakah penggunaan gadget berlebihan berkontribusi pada penurunan kemampuan dasar ini? Dengan demikian, pemerintah harus segera mengambil tindakan untuk mengatasi masalah ini.
Kondisi ini menciptakan dilema. Sekolah tidak boleh menahan siswa untuk naik kelas, tetapi mempromosikan siswa yang tidak bisa membaca juga tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) perlu membuat kelas khusus untuk belajar membaca dan menulis. Dengan kata lain, intervensi intensif dapat membantu siswa tertinggal tanpa mengorbankan standar pendidikan.
Peringkat literasi siswa Indonesia di tingkat global masih rendah. Dalam tes PISA sejak 2000, Indonesia berada di 10 peringkat terbawah untuk kemampuan membaca. Selain itu, banyak siswa kesulitan menjumlah atau mengalikan angka puluhan tanpa kalkulator. Oleh sebab itu, menerapkan elemen pembelajaran tradisional seperti di Swedia dapat menjadi solusi untuk meningkatkan literasi dan numerasi.
Pelajaran dari Kurikulum Tradisional
Pada era kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di Indonesia, siswa SD kelas 3 yang tidak bisa membaca dianggap memalukan. Guru memastikan siswa menguasai literasi dan numerasi dasar. Misalnya, menghafal perkalian hingga seratus menjadi kewajiban. Dengan demikian, pendekatan tradisional terbukti efektif membangun fondasi pendidikan yang kuat. Oleh karena itu, mengembalikan beberapa elemen pembelajaran tradisional dapat membantu mengatasi tantangan literasi saat ini.
Ketergantungan pada teknologi dan kecerdasan buatan membuat siswa cenderung malas belajar secara mendalam. Dengan kata lain, kemampuan berpikir kritis dan nalar menurun karena siswa terbiasa mencari jawaban instan melalui gadget. Oleh sebab itu, memperkenalkan kembali metode tulis tangan dan buku cetak di sekolah dasar dapat meningkatkan fokus dan daya analisis siswa.
Dampak Jangka Panjang Kebijakan Swedia
Swedia menunjukkan keberanian dengan kembali ke pembelajaran tradisional. Pemerintah yakin bahwa metode ini bukan langkah mundur, melainkan investasi untuk masa depan generasi muda. Misalnya, buku cetak memberikan pengalaman belajar terstruktur yang membantu siswa memahami informasi secara mendalam. Dengan demikian, pendekatan ini mendorong pengembangan daya nalar yang lebih kuat.
Kebijakan ini juga mengingatkan bahwa teknologi harus digunakan secara bijak. Selain itu, Swedia membuktikan bahwa pendidikan berkualitas tidak selalu bergantung pada alat digital. Oleh karena itu, negara lain, termasuk Indonesia, dapat belajar dari pendekatan ini untuk menyeimbangkan teknologi dan metode tradisional.
Rekomendasi untuk Indonesia
Indonesia dapat mengadopsi pendekatan pembelajaran tradisional dengan memperkuat penggunaan buku cetak di sekolah dasar. Pemerintah perlu menyediakan buku berkualitas dan melatih guru untuk mengoptimalkan metode tulis tangan. Selain itu, kelas remedial untuk siswa yang kesulitan membaca harus segera diterapkan. Dengan kata lain, intervensi dini dapat mencegah masalah literasi bertambah parah.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi dampak gadget pada pembelajaran. Misalnya, kebijakan yang membatasi penggunaan perangkat digital di kelas dapat dipertimbangkan. Dengan demikian, kolaborasi antara Kemdikbudristek, sekolah, dan orang tua penting untuk memastikan siswa menguasai keterampilan dasar seperti membaca dan menulis.
Inspirasi untuk Pendidikan Global
Langkah Swedia memberikan inspirasi bagi dunia pendidikan global. Negara ini menunjukkan bahwa metode tradisional bukanlah langkah mundur, melainkan strategi untuk menjaga kualitas pendidikan. Dengan kata lain, pendekatan ini mengutamakan pengembangan kemampuan kognitif siswa. Oleh karena itu, negara lain dapat mempertimbangkan kombinasi teknologi dan metode tradisional untuk hasil optimal.
Di Indonesia, menerapkan elemen pembelajaran tradisional dapat menjadi langkah awal untuk meningkatkan literasi dan numerasi. Misalnya, memperbanyak latihan tulis tangan dan membaca buku cetak dapat membantu siswa membangun fondasi yang kuat. Dengan demikian, generasi muda Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan global.
